Dasar-Dasar Ilmu Waris
A. Definisi llmu Waris Islam
Sebelum membagi harta waris terlebih dahulu perlu
dimengerti llmu waris Islam (AI-Mawarits). AI-Mawarits
adalah masalah-masalah pembagian harta warisan, atau
disebut juga sebagai ilmu AI-Faraidh. Sedangkan secara
terminologis (Pengertian), ilmu AI-Mawarits memiliki
beberapa definisi, diantaranya:
1. Kaidah-kaidah fiqih dan cara menghitung untuk
mengetahui bagian setiap ahli waris dari harta
peninggalan.
2. llmu yang digunakan untuk mengetahui ahli waris yang
dapat mewarisi dan yang tidak dapat mewarisi serta
mengetahui kadar bagian setiap ahli waris.
Dengan demikian, llmu AI-Mawarits mencakup tiga unsur penting di dalamnya
1. Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli
waris;
2. Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris;
3. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat
berhubungan dengan pembagian harta warisan.
Sedangkan objek kajian ilmu ini adalah At-Tirkah “harta peninggalan” si mayit yang bertujuan untuk memenuhi hak para “yang berhak menerimanya”.
B. Sumber Hukum Waris Islam
Sumber-sumber hukum yang digunakan dalam llmu
AI-Mawarits adalah AI-Qur'an, Hadits Rasulullah dan
ljma' Shahabat. ljtihad atau qiyas di dalam llmu
AI-Mawarits tidak mempunyai ruang gerak sedikitpun,
kecuali jika ia sudah menjadi ijma AI-'Ummah
(kesepakatan seluruh mujtahid dalam suatu masalah pada
suatu masa tertentu).
1. Sumber AI-Qur'an:
QS. An-Nisa ayat 11
Terjemahan:
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan;
dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai
anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara
mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.
Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
QS. An-Nisa ayat 12
Terjemahan:
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak,
maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta
yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu
buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,
tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu
saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja),
maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari’at yang
benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun.
QS. An-Nisa ayat 176
Terjemahan:
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang
kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang
meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri
dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka
bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian
dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum
ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
2. Sumber Hadits
HR. Bukhari dan Muslim
Terjemahan:
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Berikan bagian warisan kepada ahli
warisnya, selebihnya adalah milik laki-laki yang
paling dekat dengan mayit.” (HR. Bukhari, no. 6746 dan
Muslim, no. 1615)
HR. Ibnu Majah
Terjemahan:
“Wahai Abu Hurairah, belajarlah ilmu faraidh dan
ajarkanlah, karena sesungguhnya ia adalah setengah
dari ilmu. Dan ilmu itu akan dilupakan dan dia adalah
ilmu yang pertama kali dicabut dari umatku” (HR. Ibnu
Majah no. 2719)
HR. Abu Dawud
Terjemahan:
“Ilmu itu ada tiga, sedangkan selebihnya hanyalah
keutamaan, yaitu: ayat muhkamat, sunnah yang tegak,
dan faraidh yang adil.” (HR. Abu Dawud no. 2885 dan
Ibnu Majah no. 54)
C. Ketentuan Umum Waris Islam
1. Syarat dan Rukun Waris
Dr. Musthafa Al-Khin dalam kitab al-Fiqhul Manhaji, (Damaskus: Darul Qalam, 2013, jil. II, hal. 274) menyebutkan ada 4 syarat yang mesti dipenuhi dalam warisan. Keempat syarat tersebut adalah:
a. Orang yang mewariskan harta telah meninggal dunia
b. Ahli waris yang akan mendapat warisan nyata-nyata
masih hidup ketika orang yang akan diwarisi hartanya
meninggal, meskipun masa hidupnya hanya sebentar saja
c. Diketahuinya hubungan ahli waris dengan si mayit;
karena hubungan kekerabatan, pernikahan, atau
memerdekakan budak
d. Satu alasan yang menetapkan seseorang bisa
mendapatkan warisan secara rinci
Adapun rukun warisan disebutkan oleh Dr. Musthafa Al-Khin ada 3 (tiga) yakni:
a. Orang yang mewariskan (al-muwarrits), yakni mayit
yang diwarisi oleh orang lain yang berhak mewarisinya.
b. Orang yang mewarisi (al-wârits), yaitu orang yang
bertalian dengan mayit dengan salah satu dari beberapa
sebab yang menjadikan ia bisa mewarisi.
c. Harta warisan (al-maurûts), yakni harta warisan yang
ditinggalkan mayit setelah kematiannya
2. Sebab Menerima Waris
a. Nasab atau Kekerabatan
Orang yang bisa mendapatkan warisan dengan sebab nasab atau kekerabatan adalah kedua orang tua dan orang-orang yang merupakan turunan keduanya seperti saudara laki-laki atau perempuan serta anak-anak dari para saudara tersebut baik sekandung maupun seayah. Termasuk juga anak-anak dan orang-orang turunannya, seperti anak-anak laki-laki dan perempuan serta anak dari anak laki-laki (cucu dari anak laki-laki) baik laki-laki maupun perempuan
b. Pernikahan
Pernikahan yang terjadi dengan akad yang sah Meskipun belum terjadi persetubuhan di antara pasangan suami istri namun dengan adanya ikatan perkawinan yang sah maka keduanya bisa saling mewarisi satu sama lain. Bila suami meninggal istri bisa mewarisi harta yang ditinggalkannya, dan bila istri yang meninggal maka suami bisa mewarisi harta peninggalannya. Termasuk bisa saling mewarisi karena hubungan pernikahan adalah bila pasangan suami istri bercerai dengan talak raj’i kemudian salah satunya meninggal dunia maka pasangannya bisa mewarisi selama masih dalam masa idah talak raj’i tersebut (lihat Dr. Musthafa Al-Khin, al-Fiqhul Manhaji, Damaskus: Darul Qalam, 2013, jil. II, hal. 276).
c. Memerdekakan Budak
Seorang tuan yang memerdekakan budaknya bila kelak sang budak meninggal dunia maka sang tuan bisa nemerima warisan dari harta yang ditinggal oleh sang budak yang telah dimerdekakan tersebut. Namun sebaliknya, seorang budak yang telah dimerdekakan tidak bisa menerima warisan dari tuan yang telah memerdekakaknnya.
d. Islam
Seorang muslim yang meninggal dunia namun tak memiliki ahli waris yang memiliki sebab-sebab di atas untuk bisa mewarisinya maka harta tinggalannya diserahkan kepada baitul maal untuk dikelola untuk kemaslahatan umat Islam.
3. Sebab Terhalang Waris
Para ulama menetapkan ada 3 hal yang menjadikan seseorang terhalang untuk mendapatkan harta warisan. Ketiga hal tersebut, sebagaimana disebutkan Dr. Musthafa Al-Khin dalam al-Fiqhul Manhaji (Damaskus: Darul Qalam, 2013, jil. II, hal. 277-279) adalah:
a. budak
Orang yang berstatus budak, apa pun jenisnya, tidak bisa menerima harta warisan karena bila seorang budak menerima warisan maka harta warisan yang ia terima itu menjadi milik tuannya, padahal sang tuan adalah bukan siapa-siapanya (ajnabiy) orang yang meninggal yang diwarisi hartanya. Seorang budak juga tidak bisa diwarisi hartanya karena sesungguhnya ia tidak memiliki apa-apa. Bagi seorang budak diri dan apa pun yang ada bersamanya adalah milik tuannya
b. membunuh
Orang yang membunuh tidak bisa mewarisi harta peninggalan dari orang yang dibunuhnya, baik ia membunuhnya secara sengaja atau karena suatu kesalahan. Karena membunuh sama saja dengan memutus hubungan kekerabatan, sedangkan hubungan kekerabatan merupakan salah satu sebab seseorang bisa menerima warisan.
c. perbedaan agama antara Islam dan kufur
Orang yang beragama non-Islam tidak bisa mendapatkan harta warisan dari keluarganya yang meninggal yang beragama Islam. Juga sebaliknya seorang Muslim tidak bisa menerima warisan dari harta peninggalan keluarganya yang meninggal yang tidak beragama Islam. Berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari yang menyatakan:
Terjemahan:
“Seorang Muslim tidak bisa mewarisi seorang kafir, dan
seorang kafir tidak bisa mewarisi seorang Muslim.”
d. Islam
Seorang muslim yang meninggal dunia namun tak memiliki ahli waris yang memiliki sebab-sebab di atas untuk bisa mewarisinya maka harta tinggalannya diserahkan kepada baitul maal untuk dikelola untuk kemaslahatan umat Islam.
D. Urgensi llmu AI-Mawarits
llmu AI-Mawarits merupakan ilmu yang digunakan untuk mencegah perselisihan-perselisihan dalam pembahagian harta waris, sehingga orang yang mempelajarinya mempunyai kedudukan tinggi dan mendapatkan pahala yang besar.
Allah subhanahuwata’ala tidak menyerahkan hal tersebut kepada seorang malaikat maupun kepada para Nabi-Nya dalam menetapkannya maupun menerangkannya. Allah subhanahuwata’ala menjelaskan bagian warisan untuk setiap ahli waris dengan rinci.
Allah subhanahuwata’ala menjanjikan surga yang
dibawahnya mengalir sungai sungai kepada para hamba yang
tunduk menjalankan ketentuanNya. Dia juga mengancam
hamba-Nya yang menyalahi batasan-batasan yang telah
ditentukan, baik dengan menambahkan, mengurangi atau
mengharamkan ahli waris yang benar-benar berhak mewarisi
kemudian memberikan bagian tersebut kepada ahli waris
yang tidak berhak mewarisinya dengan ancaman neraka dan
siksa yang menghinakan.
Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda
“Wahai Abu Hurairah, belajarlah ilmu faraidh dan ajarkanlah, karena sesungguhnya ia adalah setengah dari ilmu. Dan ilmu itu akan dilupakan dan dia adalah ilmu yang pertama kali dicabut dari umatku” (HR. Ibnu Majah no. 2719)
Umar lbnul Khaththab r.a berkata, "Pelajarilah llmu Al-Mawarits, karena ia sesungguhnya, termasuk bagian dari agama kalian". Amirul Mu'minin berkata kembali, "Pelajarilah llmu Al-Mawarits, ilmu nahwu, dan ilmu hadits sebagaimana kalian mempelajari AI-Qur'an".
AI-Qirafiy berkata, "Ulama telah berijma” bahwasanya llmu AI-Mawarits termasuk fardhu kifayah. Seharusnya, kaum muslimin saat ini memperhatikan llmu AI-Mawcirits, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu dengan menjalankan wasiat Nabi Shallallahu’alaihiwasallam.